Perihal Ikhlas (3)

   Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:
“Pada akhir zaman nanti akan muncul orang-orang yang menghimpun harta dunia seperti pemerah susu (dengan memperalat agama), berpakaian seperti bulu domba di dalam kehalusannya, apa yang mereka ucapkan lebih manis daripada gula, namun berhati-hatilah karena mereka adalah laksana hati-hati serigala. Kemudian Allah berfirman (kepada mereka), ‘Apakah dengan Aku kamu menipu atau apakah kamu memperdayakan Aku dengan penuh keberanian?’ dimanakah ia menjadikan dirinya itu gagah berani tanpa berpikir dan bertanya-tanya. Maka tunggulah dengan nama-Ku, Aku bersumpah sungguh Aku akan menimpakan fitnah/bala’ hingga orang-orang yang bijaksana dan berakal yang berada di tengah-tengah mereka akan terheran-heran (kebingungan)”.
   Adapun jika seseorang beribadah atau beramal semata hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT dan dengan tiba-tiba ia mendapatkan pujian dari orang-orang, sedangkan ia pun merasa senang dengan pujian tersebut. Maka pujian dan rasa senang itu tidaklah menghapus pahala dari ibadah yang telah dikerjakan tadi. Hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Shalih, dimana ia berkata:
  “Terdapat seseorang yang menghadap kepada Nabi SAW, lantas ia berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah mengerjakan suatu amal ibadah dan aku menyembunyikannya, tiba-tiba orang mengetahuinya dan ia memujiku, lalu aku pun merasa senang (dengan pujian tersebut), maka dalam kondisi yang demikian apakah saya masih mendapatkan pahala?’ kemudian beliau menjawab, ‘Dalam hal ini kamu mendapatkan pahala dua macam yakni pahala diam-diam dan pahala diketahui orang’.”
   Yang dimaksud dengan dua macam pahala di atas adalah pahala ketika ia menyembunyikan amal ibadahnya yang baik dari pengetahuan orang lain, yakni pahala dari amal yang telah ia kerjakan itu sendiri dan pahala dari orang yang mengikuti/mengambil suri teladan dari amal baik yang ia kerjakan, dan demikianlah yang dijelaskan oleh Al-Faqih berkenaan dengan hadits di atas. Hal ini dipertegas dengan hadits Nabi SAW bahwasannya beliau bersabda:
   “Barangsiapa yang memulai/merintis jalan kebaikan, maka baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala orang yang mengikuti jejaknya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang memulai/merintis jalan kebatilan, maka baginya dosa atas perbuatannya itu sendiri dan dosa orang yang mengikuti jejaknya hingga hari kiamat”.

   Maka dari itulah kerjakanlah suatu amal ibadah dengan ikhlas semata mengharap pahala disisi Allah, meski itu kecil/sedikit adalah lebih baik di mata Allah SWT daripada beramal banyak akan tetapi disertai dengan riya’/sum’ah.
   Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Ketika para malaikat mengangkat amal salah seorang hamba yang mereka anggap banyak jumlahnya, dan mereka pun menganggap suci atasnya dan memujinya. Kemudian Allah SWT berfirman kepada mereka, ‘Sesungghnya Kami yang menjaga amal hamba-Ku sedangkan Aku yang menilai apa yang  terdapat dalam hatinya. Maka sesungguhnya hamba-Ku yang ini tidak ikhlas kepada-Ku dalam beribadah. Maka tulislah ia di Neraka Sijjin’. Kemudian para malaikat naik dengan membawa amal seorang hamba, yang mana mereka anggap kecil dan sepele atasnya. Lalu Allah mewahyukan kepada mereka (melalui firman-Nya), ‘Sesungguhnya kamu yang menjaga amal hamba-Ku dan Aku yang menilai apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Sesungguhnya hamba-Ku ini beramal dengan ikhlas karena Aku, maka tulislah/tempatkanlah ia di dalam ‘Illiyin.”
 
Kami telah membuka jalur perdagangan Nasional
   Jadi keilhlasanlah yang menjadi penilaian dan penentu dari bagus (diterima tidaknya) suatu amal ibadah di sisi Allah, meskipun itu hanya sekedar menyingkirkan duri dari jalanan, bilamana hal itu dilakukan dengan ikhlas, niscaya Allah akan melipatgandakan pahalanya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nisa:40 yang artinya:
  “Bila kebajikan itu (seberat dzarrah) adanya niscaya akan dilipatgandakan dan diberikan pahalanya yang besar di sisi-Nya.”

No comments:

Post a Comment