Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:
“Pada akhir zaman
nanti akan muncul orang-orang yang menghimpun harta dunia seperti pemerah susu
(dengan memperalat agama), berpakaian seperti bulu domba di dalam kehalusannya,
apa yang mereka ucapkan lebih manis daripada gula, namun berhati-hatilah karena
mereka adalah laksana hati-hati serigala. Kemudian Allah berfirman (kepada
mereka), ‘Apakah
dengan Aku kamu menipu atau apakah kamu memperdayakan Aku dengan penuh
keberanian?’
dimanakah ia menjadikan dirinya itu gagah berani
tanpa berpikir dan bertanya-tanya. Maka tunggulah dengan nama-Ku, Aku bersumpah
sungguh Aku akan menimpakan fitnah/bala’ hingga orang-orang yang bijaksana dan
berakal yang berada di tengah-tengah mereka akan terheran-heran (kebingungan)”.
Adapun jika seseorang beribadah atau beramal
semata hanya mengharapkan ridha dari Allah
SWT dan dengan tiba-tiba ia mendapatkan pujian dari orang-orang, sedangkan
ia pun merasa senang dengan pujian tersebut. Maka pujian dan rasa senang itu
tidaklah menghapus pahala dari ibadah yang telah dikerjakan tadi. Hal ini
sesuai dengan hadits dari Abu Shalih,
dimana ia berkata:
“Terdapat seseorang yang menghadap kepada Nabi SAW, lantas ia berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah mengerjakan suatu amal ibadah
dan aku menyembunyikannya, tiba-tiba orang mengetahuinya dan ia memujiku, lalu
aku pun merasa senang (dengan pujian tersebut), maka dalam kondisi yang demikian apakah saya masih
mendapatkan pahala?’ kemudian beliau
menjawab, ‘Dalam hal ini kamu mendapatkan pahala dua macam yakni pahala
diam-diam dan pahala diketahui orang’.”
Yang dimaksud dengan dua macam pahala di
atas adalah pahala ketika ia menyembunyikan amal ibadahnya yang baik dari
pengetahuan orang lain, yakni pahala dari amal yang telah ia kerjakan itu
sendiri dan pahala dari orang yang mengikuti/mengambil suri teladan dari amal
baik yang ia kerjakan, dan demikianlah yang dijelaskan oleh Al-Faqih berkenaan dengan hadits di
atas. Hal ini dipertegas dengan hadits Nabi
SAW bahwasannya beliau bersabda:
“Barangsiapa yang memulai/merintis jalan kebaikan, maka
baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala orang yang mengikuti jejaknya
sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang memulai/merintis jalan kebatilan, maka
baginya dosa atas perbuatannya itu sendiri dan dosa orang yang mengikuti
jejaknya hingga hari kiamat”.
Maka dari itulah kerjakanlah suatu amal
ibadah dengan ikhlas semata mengharap pahala disisi Allah, meski itu kecil/sedikit adalah lebih baik di mata Allah SWT daripada beramal banyak akan
tetapi disertai dengan riya’/sum’ah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Ketika para
malaikat mengangkat amal salah seorang hamba yang mereka anggap banyak
jumlahnya, dan mereka pun menganggap suci atasnya dan memujinya. Kemudian Allah
SWT berfirman kepada mereka, ‘Sesungghnya
Kami yang menjaga amal hamba-Ku sedangkan Aku yang menilai apa yang terdapat dalam hatinya. Maka sesungguhnya
hamba-Ku yang ini tidak ikhlas kepada-Ku dalam beribadah. Maka tulislah ia di
Neraka Sijjin’. Kemudian para
malaikat naik dengan membawa amal seorang hamba, yang mana mereka anggap kecil
dan sepele atasnya. Lalu Allah mewahyukan kepada mereka (melalui firman-Nya), ‘Sesungguhnya kamu yang menjaga
amal hamba-Ku dan Aku yang menilai apa yang tersembunyi di dalam hatinya.
Sesungguhnya hamba-Ku ini beramal dengan ikhlas karena Aku, maka
tulislah/tempatkanlah ia di dalam ‘Illiyin.”
Jadi keilhlasanlah yang menjadi penilaian
dan penentu dari bagus (diterima tidaknya) suatu amal ibadah di sisi Allah, meskipun itu hanya sekedar
menyingkirkan duri dari jalanan, bilamana hal itu dilakukan dengan ikhlas,
niscaya Allah akan melipatgandakan
pahalanya. Bukankah Allah Ta’ala
telah berfirman dalam surat An-Nisa:40 yang artinya:
“Bila kebajikan itu (seberat dzarrah) adanya
niscaya akan dilipatgandakan dan diberikan pahalanya yang besar di sisi-Nya.”
No comments:
Post a Comment