Riya’ dalam Amal tiga Pemuda (4)

   Al-Faqih meriwayatkan hadits dari Jaballah Al-Yahshubi, ia berkata, “Ketika kami tengah berada dalam suatu peperangan bersama-sama dengan Abdul Malik bin Marwan, kemudian kami bertemu dengan seseorang yang suka bangun malam dan sedikit sekali tidur malamnya, meski berhari-hari kami bertemu dengan orang itu, tetapi kami tidak tahu siapakah orang itu. Kemudian suatu ketika kami mengetahui bahwa orang tersebut adalah salah satu dari sahabat Nabi SAW dan dia pernah bercerita kepada kami bahwa suatu hari ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang kelak dapat menyelamatkan kami?”
Beliau bersabda: “ Janganlah kamu menipu Allah.”
Ia bertanya, “Ya Rasul, bagaimana mungkin kami bisa menipu Allah?”
Beliau lalu bersabda: “Yakni ketika kamu beramal bukan karena Allah semata, jauhilah olehmu riya’, karena riya’ berarti syirik kepada Allah dan kelak pada hari kiamat orang-orang yang berbuat riya’ itu akan dipanggil oleh Allah dengan empat sebutan: kafir, pelacur, penipu dan katsir (orang yang merugi) amalmu adalah sesat dan pahalamu hanyalah kesia-siaan. Mintalah pahala kepada mereka yang menjadi tujuanmu dalam beramal, wahai penipu.”
   Adapun Jaballah Al-Yahshubi meyakini akan kebenaran dari hadits ini, karena sahabat itu menerimanya langsung dari Rasulullah SAW dengan berucap, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sungguh saya mendengarnya langsung dari Rasul SAW dan jika terdapat kekeliruan maka itu bukanlah sebuah kesengajaan dariku.” Seraya beliau membaca firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 142.

   Al-Faqih berkata bahwa bersikap ajeg/istiqamah di dalam memelihara amal adalah lebih sulit daripada mengerjakannya,maka dari itulah agar apa yang telah dikerjakan tidak menjadi sia-sia, hendaklah kita senantiasa memeliharanya dari penyakit riya’ dan ujub (merasa bangga dengan diri sendiri).

   Hal ini dibenarkan oleh Abu Bakar Al-Wasithi dengan mengambil perumpamaan seperti sebuah kaca yang mudah pecah/rusak bilamana terkena benturan, dan demikian pula ketika suatu amal ibadah itu terkena penyakit riya’ dan ujub, maka dengan mudah ia akan mejadi rusak. Oleh karena itu ketika seseorang mengerjakan suatu amal/ibadah, hendaklah ia menjauhkannya dari riya’. Kalaupun dirinya belum sepenuhnya dapat menghilangkan riya’ dari hatinya, maka hendaknya ia senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh dan senantiasa memohon pertolongan serta ampunan dari Allah SWT, sehingga dengan demikian diharapkan Dia akan memberikan taufik berupa keikhlasan di dalam mengerjakan amal-amal yang lain.

   Dalam sebuah peribahasa disebutkan bahwasannya dunia akan menjadi sepi bila tanpa kehadiran orang-orang yang riya’, sebab mereka mengerjakan amal-amal kebaikan seperti membangun pondok-pondok pesantren dan fasilitas-fasilitas umum lainnya, sekali pun amal itu dilakukan dengan di sertai riya’, akan tetapi orang lain/khalayak umum dapat mengambil manfaat darinya, dan barang kali dalam doa orang-orang muslim yang mengambil manfaat dari tempat/bangunan yang dia dirikan itulah maka hal itu dapat memberikan manfaat pula bagi dirinya.
   Diceritakan bahwasannya dahulu terdapat seorang muslim yang membangun sebuah pondok pesantren, akan tetapi dirinya tidak yakin apakah yang ia lakukan itu benar-benar ikhlas karena Allah ataukah masih disertai dengan riya’? kemudian pada suatu malam ia bermimpi dan dikatakan kepadanya, “Andaikata amal yang kamu kerjakan itu masih disertai riya’ maka kamu dapat memperoleh manfaat/kebahagiaan dari doanya orang-orang yang dengan ikhlas mendoakan kamu.”

   Pernah suatu kali seseorang berdoa di dekat Hudzaifah bin Al-Yamini, ia berkata, “Ya Allah, binasakanlah orang-orang munafik.”
Lalu Hudzaifah berkata, “Sekiranya orang-orang munafik itu binasa, niscaya kekuatanmu menjadi berkurang dan kamu akan mangalami kesulitan di dalam menahan musuh-musuhmu.”
Adapun maksud dari perkataan Hudzaifah tersebut adalah keberadaan orang-orang munafik di medan peperangan sesungguhnya juga turut andil di dalam memperkuat pertahanan dari pihak musuh.
   Salman Al-Farisi berkata, “Allah memperkokoh kekuatan orang mukmin dengan kekuatan orang munafik, dan demikian pula orang munafik tertolong berkat doa dari orang-orang mukmin.”

   Al-Faqih berkata, “Sebagian orang berpendapat bahwa riya’ tidak akan hadir dalam amalan /ibadah-ibadah yang bersifat fardhu sebab ibadah tersebut memang diwajibkan bagi semua makhluk. Akan tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa bisa saja riya’ itu hadir dalam ibadah / amalan yang bersifat fardhu ataupun bukan.”

   Adapun Al-Faqih mempertegas pendapat-pendapat tersebut bahwasannya yang demikian itu terdapat dua kriteria, yakni:
1.      Bilamana seseorang mengerjakan amal ibadah yang bersifat fardhu karena riya’ dimana jika bukan karena riya’ ia tidak akan mengerjakannya, maka inilah yang disebut dengan munafik tulen (sempurna), sebagaimana firman Allah SWT yang menjelaskan tentang keberadaan mereka kelak: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (kelak di tempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka.”
Tuhfatul Arusy

  Adapun yang dimaksud dengan tingkatan yang paling bawah adalah Neraka Hawiyah, dan di situlah keluarga Fir’aun ditempatkan. Sebab jika ketauhidan yang mereka itu benar serta memiliki keikhlasan di dalam beramal, niscaya ia akan mengerjakan amal yang difardhukan oleh Allah SWT dengan tulus dan tanpa merasa enggan atau keberatan.

2.      Bilamana seseorang mengerjakan amal / ibadah fardhu secara sempurna ketika dilihat / diperhatikan oleh orang lain, sedang ketika di saat sepi atau orang lain tidak melihat dan memperhatikannya, maka ia mengerjakannya dengan sekehendak hati atau kurang sempurna. Dan tidaklah baginya atas yang demikian itu melainkan yang ia terima hanyalah pahala sesuatu dengan apa yang ia lakukan, adapun pahala dari amalnya yang sempurna tetapi lantaran dilihat oleh orang lain, hanyalah kesia-siaan, bahkan kelak ia akan dituntut atas penipuan yang dilakukannya tersebut. Wallaahu A’lam.

<Prev  1 
 2 
 3 
 4 
Next>

Riya’ dalam Amal tiga Pemuda (3)

   Haram bin Hayyan menyebutkan bahwasannya seseorang yang mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dengan sepenuh hati, maka tidaklah yang Allah peruntukkan baginya, melainkan Dia akan menggerakkan hati orang-orang yang beriman untuk mencintai dan menaruh belas kasih kepadanya.
   Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya manakala Allah SWT mencintai seorang hamba, maka Dia berfirman kepada Jibril, ‘Sesungguhnya Aku mencintai hamba ini, maka cintailah dia.’ Kemudian Jibril pun berseru kepada seluruh penghuni langit, ‘Sesungguhnya Allah Azza Wajalla mencintai hamba ini, maka cintailah dia.’ Maka penghuni langit pun mencintainya, dan menyebarkan kasih sayang penghuni bumi kepadanya. Demikian pula ketika Allah SWT memurkai seorang hamba, maka Dia pun menyeru kepada segenap penghuni langit dan bumi agar memarahi/mengutuknya.”
Bergabunglah bersama kami dalam perdagangan Nasional
   Pernah suatu kali Syaqiq bin Ibrahim didatangi oleh seseorang yang menanyakan satu perkara kepadanya, orang itu berkata, “Sesungguhnya telah ramai di khalayak umum yang mengatakan bahwa saya ini orang yang baik, maka bagaimanakah aku dapat mengetahui apakah saya ini termasuk orang yang baik atau bukan?”
   Lantas beliau pun menjawab,
Pertama, cobalah kamu perlihatkan sikap/perbuatan yang selama ini kamu sembunyikan di hadapan orang-orang shalih, bilamana mereka senang dan setuju dengan apa yang kamu perbuat tersebut maka itu pertanda bahwa kamu adalah orang baik.
Kedua, cobalah kamu tawarkah kepada hatimu segala keindahan dan kesenangan yang bersifat duniawi, bilamana hatimu menolak maka itu pertanda bahwa kamu termasuk orang yang baik. Ketiga, cobalah kamu tawarkan kepada dirimu akan tibanya ajal/kematian, bilamana kamu menginginkannya, maka itu pertanda bahwa kamu termasuk orang yang baik.”
   Maka dari itulah ketika ketiga hal tersebut ada pada dirimu, maka mintalah kepada Allah SWT agar Dia memelihara dari riya’ dan ujub, sebab tidaklah kedua dari sifat itu melainkah hanya akan merusak semua amal ibadahmu.
   Dari Anas bin Malik, Nabi SAW bersabda, “Apakah kalian tahu siapakah orang yang benar-benar mukmin itu?”
Para sahabat pun menjawab, “Hanya Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih mengetahui.”
Kemudian beliau bersabda: “…ialah seseorang yang tidak akan mati, sehingga Allah memperdengarkan kepadanya apa-apa yang ia sukai dan sekiranya seseorang mengerjakan suatu ibadah kepada Allah  di dalam rumah sampai 70 lapis yang masing-masing darinya berpintukan besi, niscaya Allah akan memakaikan selendang malamnya hingga orang-orang membicarakan yang demikian itu dan melebih-lebihkannya.”
Lantas ditanyakan kepada Rasul SAW, “Kenapa mereka melebih-lebihkannya?”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya orang yang beriman itu senang jika amal ibadahnya menjadi bertambah.”
Risalah Qusyairiyah

Setelah itu beliau bersabda: “Tahukah kalian, siapakah orang yang lacur itu?”
Para sahabat menjawab, Allah dan Rasul-Nyalah yang lebih mengetahui.”
Beliau bersabda: “…ialah seseorang yang tidak akan mati hingga Allah memenuhi pendengarannya dengan apa-apa yang ia benci. Seandainya seseorang mengerjakan sebuah kemaksiatan di dalam rumah sampai 70 lapis yang berpintukan dari besi, niscaya orang-orang akan membicarakannya dan melebih-lebihkannya.”
Kemudian beliau ditanya, “Mengapa dilebih-lebihkan, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Sesungguhnya orang yang berbuat maksiat itu senang bila kemaksiatannya itu bertambah.”

    Dijelaskan oleh Auf bin Abdullah bahwasannya orang yang dapat dengan kebaikan itu akan senantiasa memberi peringatan kepada sesamanya tentang tiga hal yang menggembirakan, yaitu:
1.      Barangsiapa yang beramal untuk akhiratnya maka Allah akan mencukupi urusan dunianya.
2.      Barangsiapa yang memperbaiki hubungannya kepada Allah (hablum minallah) maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia (hablum minannas).
3.      Barangsiapa yang memperbaiki yang tersembunyi/hatinya, maka Allah akan memperbaiki apa yang terlihat/lahirnya.
   Berkata Hamid Al-Lafal bahwa ketika Allah menghendaki kehancuran bagi seseorang, maka Dia akan menimpakan tiga hal kepadanya, yaitu:
1.      Memiliki ilmu tetapi enggan untuk mengamalkannya.
2.      Allah memberinya kemudahan di dalam bergaul dengan orang-orang shalih tetapi bersikap kurang ajar (tidak memenuhi hak-hak mereka dengan baik).
3.      Allah SWT memberinya kesempatan untuk dapat berbuat baik tetapi ia tidak ikhlas dengan kebaikannya tersebut.

   Berkata Al-Faqih bahwasannya hal yang seperti ini dapat terjadi adalah disebabkan oleh niatnya yang jahat dan hatinya yang berpenyakit, sekiranya niat itu benar pastilah ilmu yang ia miliki menjadi bermanfaat, ikhlas dalam beramal dan memiliki penghormatan serta penghargaan kepada orang-orang shalih.
<Prev  1 
 2 
 3 
 4 
Next>

Riya’ dalam Amal tiga Pemuda (2)

   Seorang arif mendefinisikan makna ikhlas sebagai berikut, ikhlas berarti menyembunyikan kebaikan-kebaikan yang ia lakukan dari perhatian, penglihatan dan penilaian orang lain, sebagaimana ia menyembunyikan kejelekan-kejelekan yang ia perbuat. Adapun sebagaimana yang lain mendefinisikan ikhlas adalah tidak menghendaki pujian dari orang lain atas amal yang telah atau akan ia kerjakan. 
Tanbihul Ghofilin
   Ketika Dzun Nun Al-Mishri ditanya seseorang tentang siapakah diantara manusia yang termasuk pilihan Allah SWT yang telah dipilih oleh-Nya, maka ia pun menjawab ialah mereka yang memiliki empat sifat sebagai berikut:
1.       Ketika ia meninggalkan waktu istirahatnya untuk beribadah dan bertaqarrub kepada Allah SWT.
2.       Memberikan sesuatu yang ada padanya.
3.       Tidak menghendaki derajat yang bersifat duniawi, seperti tahta, kedudukan, jabatan ataupun harta.
4.       Istiqamah/tetap pada pendiriannya, meskipun orang lain mengejek ataupun memujinya.
Kami telah membuka jalur perdagangan Nasional
    Diriwayatkan dari Ali bin Hakim bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Kelak pada hari kiamat akan ada sekelompok manusia yang diperhatikan untuk ke Surga, dan ketika mereka telah begitu dekat dengan Surga hingga tercium bau harumnya dan terlihat istana-istana serta kesenangan yang dijanjikan oleh Allah bagai penghuninya, tiba-tiba saja mereka diusir dan di seru agar menjauh dari Surga tersebut, lantaran mereka tidak berhak untuk tinggal di dalamnya. Kemudian mereka pun berpaling dengan perasaan kecewa dan menyesal, seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau memperlakukan kami demikian, seandainya Engkau memasukkan kami ke Neraka sebelum Engkau memperlihatkan kepada kami Surga yang telah Engkau sediakan bagi kekasih-kekasih-Mu yang telah kami lihat (maka sungguh hal itu adalah lebih baik bagi kami).”
Lalu Allah SWT berfirman kepada mereka:
Jadilah Wanita Bahagia 
“Aku memperlakukan kalian demikian, adalah tidak lain karena apa yang kalian lakukan dahulu, dimana ketika sunyi (ditempat sepi) kalian mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat, sementara ketika di tengah-tengah umum (manakala mata manusia menyaksikan) kalian berlagak seperti seorang ahli ibadah, yang sangat tekun beribadah. Kalian memamerkan perbuatan kalian kepada manusia dan tidak takut kepada-Ku, kalian membesar-besarkan penilaian manusia melebihi penilaian-Ku, kalian meninggalkan (kejelekan) karena penilaian manusia dan tidak meninggalkan karena Aku. Maka pada hari ini tibalah bagi kalian untuk merasakan kepedihan dari sisi-Ku dan mengharapkan keagungan dari Surga-Ku atas kamu sekalian.”

     Sebuah riwayat dari Ibnu Abas r.a menyebutkan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “Manakala Allah Azza Wajalla menciptakan Surga Adn, dimana di dalamnya dipenuhi oleh segala sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar olah telinga dan tidak pernah terlintas di benak manusia. Kemudian Allah memerintahkan kepadanya untuk berbicara, dan ia pun berseru: “Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman (sebanyak 3x). lantas ia pun berseru, “Bahwasanya Aku haramkan untuk mendekat (masuk) kepadaku bagi mereka orang-orang yang kikir, munafiq, dan suka pamer (riya’).”
    Sahabat Ali bin Abu Thalib menjelaskan bahwasannya terdapat empat tanda yang dimiliki oleh mereka yang suka berbuat riya’ atau senang dipuji adalah sebagai berikut:
1.       Malas beramal ketika tidak dilihat oleh manusia.
2.       Rajin beramal ketika bersama-sama / dilihat oleh manusia.
3.       Ketika manusia mencela ia mengurangi amal ibadahnya.
4.       Ketika menurut memujinya maka ia meningkatkan amal ibadahnya.

   Disebutkan bahwa setiap segala sesuatu itu memiliki, pelindung/benteng, adapun menurut Syaqiq bin Ibrahim, benteng daripada amal itu ada tiga perkara, yaitu:
1)     Ketika seorang beramal kebaikan, maka hendaklah ia menanamkan sebuah persepsi dan mengakui bahwasannya tidaklah ia akan dapat mengerjakan suatu kebaikan/amal ibadah, melainkan adalah semata atas bimbingan dan pertolongan dari Allah SWT. Sehingga hal itu akan menjauhkan hatinya dari sikap ujub. Sebab ujub dalam beramal akan memusnahkan pahala dari amal itu sebagaimana api yang membakar kayu bakar.
2)     Ketika seseorang beramal kebaikan, maka hendaklah ia melakukannya semata-mata hanya mencari keridhaan dari Allah SWT, sehingga dengan demikian ia dapat mengarahkan nafsunya menjadi nafsu Al-Mutma’innah.
3)     Ketika seseorang beramal kebaikan maka  hendaklah ia mengharapkan belasan/pahala semata hanya dari sisi Allah SWT, sehingga hal itu akan menjauhkan dirinya dari sifat tamak dan riya’.
   Dan dengan tiga perkara itulah ibadah seseorang dapat menjadi ibadah yang ikhlas.
Adapun sebagian orang arif yang lain menyebutkan bahwasannya suatu amal ibadah itu memerlukan empat yang menyertainya, yaitu:
a.       Beramal dengan ilmu, ialah mengerjakan suatu amal itu dengan di dasari ilmu/pengetahuan, karena amal akan menjadi betul dan sempurna bilamana dilandasi oleh ilmu.
b.       Beramal dengan di sertai niat yang betul, karena segala amal adalah tergantung daripada niatnya.
c.       Beramal dengan di sertai kesabaran, dengan demikian ia akan memperoleh kesempurnaan dan ketenangan di dalam beramal. Tidak memperdulikan pujian ataukah celaan yang nantinya diperoleh, sebab ia beramal dengan kesabaran dan hanya peduli pada penilaian dari Allah SWT semata.
d.       Beramal dengan disertai keikhlasan karena hanya dengan keikhlasan itulah amal ibadah seseorang dapat diterima dengan baik di sisi Allah SWT, dan Dia akan memberi pahala yang berlipat atas keikhlasan tersebut.
<Prev  1 
 3 
 4 
Next>

Riya’ dalam Amal tiga Pemuda

Tanbihual Ghofilin
      Diceritakan oleh Al-Faqih dari Amir Al-Ashbahi bahwasannya pada suatu hari ia pergi ke Madinah dan bertemu dengan Abu Hurairah yang saat itu ia sedang berada di antara sekumpulan orang-orang. Kemudian aku bertanya kepada seseorang di antara meraka, “Siapakah dia?”
jawabnya, “Dia adalah Abu Hurairah.”
Dan setelah orang-orang beranjak darinya aku pun lalu mendekat kepadanya seraya berkata, “Demi Allah, beritahukanlah kepadaku sebuah hadits yang kamu dengar langsung dari Rasul SAW.”
Mukasyafatul Qulub

“Duduklah, aku akan memberitahukan kepadamu satu hadits yang disampaikan oleh Rasul SAW kepadaku.” dimana pada saat itu tidak ada seorang pun selain aku dan beliau. Tiba-tiba ia menghela nafas panjang hingga jatuh tersungkur dan tidak sadarkan diri, setelah tersadar dari pingsannya ia pun mengusap wajahnya dan berkata, “Dengarkanlah, aku mendengar hadits ini langsung dari Rasul. Yang demikian ini berulang hingga tiga kali, setelah tersadar dari pingsan yang ketiga, ia pun berkata, Rasul SAW bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah yang Maha Pemberi berkah dan Maha Tinggi memutuskan semua urusan makhluk-Nya dan setiap dari mereka akan tunduk (kepada-Nya).
v  Kemudian orang pertama yang dipanggil adalah seorang pembaca Al-Qur’an, lalu Allah SWT berfirman kepadanya, “Bukankah Aku telah mengajarkan kepadamu apa yang Aku wahyukan kepada utusan-Ku?”
Ia pun menjawab, “Saya telah mengamalkannya sepanjang siang dan malam.”
Lalu Allah berfirman: “Kamu telah berdusta.”
Dan malaikat pun berkata, “Kamu adalah pendusta, karena kamu hanya menginginkan pujian dan dikatakan sebagai orang yang mahir dan pandai dalam membaca Al-Qur’an saja (bukan karena Allah semata)  dan yang demikian itu telah diucapkan oleh orang.”
Durratun Nashihin

v  Kemudian dipanggillah orang yang kedua, yaitu seorang hartawan, lantas ditanyakan kepadanya, “Apakah yang telah kamu perbuat dengan harta yang telah Aku berikan kepadamu?”
Ia pun menjawab, “Aku telah membelanjakannya untuk menyambung hubungan silaturrahim dan bersedekah dengannya.”
Kemudian Allah SWT berfirman: “Kamu telah berdusta.”
Dan para malaikat pun berkata, “Kamu adalah seorang pendusta karena tidaklah yang kamu kehendaki dari semua itu melainkan agar orang menyebutmu sebagai seorang yang pemurah, dermawan dan tidak bakhil, sedangkan yang demikian itu telah diucapkan orang.”
v  Kemudian dipanggillah orang yang ketiga, yaitu seorang yang berjihad/berperang di jalan Allah, lantas ditanyakan kepadanya, “Karena apa kamu terbunuh?”
Ia pun menjawab, “Saya terbunuh karena berperang di jalan-Mu.”
Kemudian Allah SWT berfirman, “Kamu telah berdusta.”
Dan para malaikat pun berkata, “Kamu adalah seorang pendusta, karena tidaklah kamu melakukan yang demikian, melainkan agar orang menyebutmu sebagai pahlawan yang gagah berani dan yang demikian itu telah diucapkan oleh orang (terlaksana di dunia).”
   Setelah itu Rasulullah SAW menepuk lututku seraya bersabda:
Risalah Qusyairiyah 
“Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling awal disiksa di Neraka.”
Dan ketika itu sampai kepada Mu’awiyah, ia pun langsung menangis seraya berkata, “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya.” ia pun lantas membaca firman Allah SWT yang artinya:
“Barangsiapa (yang tujuan) amalnya hanya semata menghendaki dunia dan kesenangan harta keindahannya, niscaya Kami sempurnakan balasannya di dunia, sedikitpun tidak dikurangi.” (QS. Hud:15)
   Kemudian dalam surat Hud ayat 16 Allah SWT menegaskan dengan firman-Nya:
“Itulah mereka orang-orang yang tiada balasan baginya di akhirat, kecuali Neraka, maka lenyaplah semua amal usahanya dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”
Mari Jadikan Segalanya Lebih Mudah Lagi
   Abdullah bin Hanif Al-Inthaqi berkata, “Kelak pada hari kiamat ketika, mereka menanyakan tentang balasan dari amal yang telah mereka kerjakan sewaktu di dunia, maka Allah SWT akan mempermalukan mereka dengan berfirman kepadanya, “Bukankah Kami telah memenuhinya sewaktu kalian hidup di dunia? Bukankah Kami telah melapangkan kalian dengan kedudukan, ketenaran, kesuksesan serta harta yang bergelimang (sebagaimana yang kalian kehendaki dari amal yang telah kalian kerjakan). Bukankah kalian telah meraih apa saja yang kalian kehendaki dari dunia?”

Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa dengan hal itu.
=
<Prev  1 
 2 
 3 
 4 
Next>
=

Perihal Ikhlas (3)

   Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda:
“Pada akhir zaman nanti akan muncul orang-orang yang menghimpun harta dunia seperti pemerah susu (dengan memperalat agama), berpakaian seperti bulu domba di dalam kehalusannya, apa yang mereka ucapkan lebih manis daripada gula, namun berhati-hatilah karena mereka adalah laksana hati-hati serigala. Kemudian Allah berfirman (kepada mereka), ‘Apakah dengan Aku kamu menipu atau apakah kamu memperdayakan Aku dengan penuh keberanian?’ dimanakah ia menjadikan dirinya itu gagah berani tanpa berpikir dan bertanya-tanya. Maka tunggulah dengan nama-Ku, Aku bersumpah sungguh Aku akan menimpakan fitnah/bala’ hingga orang-orang yang bijaksana dan berakal yang berada di tengah-tengah mereka akan terheran-heran (kebingungan)”.
   Adapun jika seseorang beribadah atau beramal semata hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT dan dengan tiba-tiba ia mendapatkan pujian dari orang-orang, sedangkan ia pun merasa senang dengan pujian tersebut. Maka pujian dan rasa senang itu tidaklah menghapus pahala dari ibadah yang telah dikerjakan tadi. Hal ini sesuai dengan hadits dari Abu Shalih, dimana ia berkata:
  “Terdapat seseorang yang menghadap kepada Nabi SAW, lantas ia berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah mengerjakan suatu amal ibadah dan aku menyembunyikannya, tiba-tiba orang mengetahuinya dan ia memujiku, lalu aku pun merasa senang (dengan pujian tersebut), maka dalam kondisi yang demikian apakah saya masih mendapatkan pahala?’ kemudian beliau menjawab, ‘Dalam hal ini kamu mendapatkan pahala dua macam yakni pahala diam-diam dan pahala diketahui orang’.”
   Yang dimaksud dengan dua macam pahala di atas adalah pahala ketika ia menyembunyikan amal ibadahnya yang baik dari pengetahuan orang lain, yakni pahala dari amal yang telah ia kerjakan itu sendiri dan pahala dari orang yang mengikuti/mengambil suri teladan dari amal baik yang ia kerjakan, dan demikianlah yang dijelaskan oleh Al-Faqih berkenaan dengan hadits di atas. Hal ini dipertegas dengan hadits Nabi SAW bahwasannya beliau bersabda:
   “Barangsiapa yang memulai/merintis jalan kebaikan, maka baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala orang yang mengikuti jejaknya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang memulai/merintis jalan kebatilan, maka baginya dosa atas perbuatannya itu sendiri dan dosa orang yang mengikuti jejaknya hingga hari kiamat”.

   Maka dari itulah kerjakanlah suatu amal ibadah dengan ikhlas semata mengharap pahala disisi Allah, meski itu kecil/sedikit adalah lebih baik di mata Allah SWT daripada beramal banyak akan tetapi disertai dengan riya’/sum’ah.
   Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:
“Ketika para malaikat mengangkat amal salah seorang hamba yang mereka anggap banyak jumlahnya, dan mereka pun menganggap suci atasnya dan memujinya. Kemudian Allah SWT berfirman kepada mereka, ‘Sesungghnya Kami yang menjaga amal hamba-Ku sedangkan Aku yang menilai apa yang  terdapat dalam hatinya. Maka sesungguhnya hamba-Ku yang ini tidak ikhlas kepada-Ku dalam beribadah. Maka tulislah ia di Neraka Sijjin’. Kemudian para malaikat naik dengan membawa amal seorang hamba, yang mana mereka anggap kecil dan sepele atasnya. Lalu Allah mewahyukan kepada mereka (melalui firman-Nya), ‘Sesungguhnya kamu yang menjaga amal hamba-Ku dan Aku yang menilai apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Sesungguhnya hamba-Ku ini beramal dengan ikhlas karena Aku, maka tulislah/tempatkanlah ia di dalam ‘Illiyin.”
 
Kami telah membuka jalur perdagangan Nasional
   Jadi keilhlasanlah yang menjadi penilaian dan penentu dari bagus (diterima tidaknya) suatu amal ibadah di sisi Allah, meskipun itu hanya sekedar menyingkirkan duri dari jalanan, bilamana hal itu dilakukan dengan ikhlas, niscaya Allah akan melipatgandakan pahalanya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nisa:40 yang artinya:
  “Bila kebajikan itu (seberat dzarrah) adanya niscaya akan dilipatgandakan dan diberikan pahalanya yang besar di sisi-Nya.”

Perihal Ikhlas (2)

   Jadi kesia-siaan yang demikian oleh orang bijak diibaratkan seperti orang yang pergi ke pasar dengan kantongnya yang penuh kerikil, dimana setiap orang akan melihat dan menilainya sebagai orang yang berkantong tebal alias berduit banyak, sehingga semua orang pun akan berbisik, “Ah, alangkah bahagianya orang itu dengan kantongnya yang penuh dengan uang” padahal sesungguhnya orang tersebut tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari kantongnya, kecuali hanya sanjungan dan pujian dari orang belaka, bagaimana ia akan dapat membeli sesuatu, sedang kerikil itu sama sekali tidak berharga dan tidak bisa digunakan sebagai alat pembayaran. Demikianlah perumpamaan bagi mereka yang beramal dengan disertai riya’ atau sum’ah.
   Dalam surat Al-Furqon ayat 23 Allah SWT berfirman:
   “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”
   Dari Sufyan Ats-Tsauri dari seorang (sahabat) dari mujahid, ia berkata, “Ada seorang datang kepada Nabi SAW dan berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya aku bersedekah dengan sesuatu dan dengan sedekah itu aku hanya mengharap keridhaan Allah tetapi aku juga senang bila dikatakan orang yang baik (oleh orang lain).”
   Lantas turunlah firman Allah SWT dalam surat Al-Kahfi ayat 110 yang artinya:
   “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mengharapkan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
 
Mari Jadikan Segalanya Lebih Mudah Lagi
   Oleh karena itu ketika seseorang menginginkan pahala di sisi Allah atas apa yang ia kerjakan maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh tersebut dengan penuh keikhlasan dan tidak mencampurinya dengan segala bentuk penyekutuan kepada seorang pun selain daripada-Nya.

   Seorang arif menyebutkan bahwasannya terdapat tujuh perkara yang mana bila perkara tersebut tidak disertai dengan tujuh perkara yang lain, maka apa yang dikerjakan hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, tanpa ada kemanfaatan sedikit pun yang dapat ia ambil darinya, adapun tujuh perkara tersebut adalah:
1.      Seseorang yang mengaku takut kepada Allah akan tetapi ia tidak mau meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa, maka tidaklah takut yang demikian itu, melainkan hanyalah sebuah tipuan belaka, dimana ia tidak akan dapat mengambil manfaat dari takutnya tersebut, melainkan hanya kesia-siaan belaka.
Al-Matjar Raabih


2.      Seseorang yang berharap mendapatkan pahala dari Allah SWT akan tetapi dirinya enggan berusaha dan beribadah kepada-Nya, maka sungguh pengharapan yang demikian adalah tidak dapat memberi manfaat sedikit pun bagi dirinya.
3.      Niat untuk melakukan kebaikan kepada Allah SWT akan tetapi tidak direalisasikan dalam perbuatan/kenyataan, maka niat (kata hati) yang demikian tidak memberi manfaat bagi dirinya.
4.      Seseorang yang berdoa kepada Allah akan tetapi tidak disertai dengan usaha secara lahiriyah, maka doa yang demikian tidaklah dapat memberi manfaat bagi dirinya. Sebab kesungguh-sungguhan di dalam berdoa adalah berarti bersungguh-sungguh pula di dalam bentuk amaliyahnya, dan disinilah Allah SWT akan memberi petunjuk kepadanya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di dalam (mencari keridhaan) Kami, niscaya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka (menuju) jalan-jalan Kami dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik”.
Tuhfatul Arusy

5.      Seseorang yang memohon ampun kepada Allah akan tetapi tidak menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan olehnya, maka tidaklah permohonan yang ia lakukan, melainkan hanya sebatas di lisan saja, tanpa ada kesungguhan di hati penyesalan yang sebenar-benarnya.
6.      Seseorang yang berbuat kebaikan dalam bentuk lahirnya (yang tampak) akan tetapi ketika orang tidak melihat atau memperhatikannya ia mengerjakannya dengan tidak baik, maka perbuatan yang demikian hanyalah cermin dari kepura-puraan belaka, sehingga hal itu tidak membawa kebaikan sedikit pun bagi dirinya.

7.      Seseorang yang bersungguh-sungguh di dalam beramal, akan tetapi ia tidak ikhlas karena Allah  SWT semata.