Riya’ dalam Amal tiga Pemuda (4)

   Al-Faqih meriwayatkan hadits dari Jaballah Al-Yahshubi, ia berkata, “Ketika kami tengah berada dalam suatu peperangan bersama-sama dengan Abdul Malik bin Marwan, kemudian kami bertemu dengan seseorang yang suka bangun malam dan sedikit sekali tidur malamnya, meski berhari-hari kami bertemu dengan orang itu, tetapi kami tidak tahu siapakah orang itu. Kemudian suatu ketika kami mengetahui bahwa orang tersebut adalah salah satu dari sahabat Nabi SAW dan dia pernah bercerita kepada kami bahwa suatu hari ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang kelak dapat menyelamatkan kami?”
Beliau bersabda: “ Janganlah kamu menipu Allah.”
Ia bertanya, “Ya Rasul, bagaimana mungkin kami bisa menipu Allah?”
Beliau lalu bersabda: “Yakni ketika kamu beramal bukan karena Allah semata, jauhilah olehmu riya’, karena riya’ berarti syirik kepada Allah dan kelak pada hari kiamat orang-orang yang berbuat riya’ itu akan dipanggil oleh Allah dengan empat sebutan: kafir, pelacur, penipu dan katsir (orang yang merugi) amalmu adalah sesat dan pahalamu hanyalah kesia-siaan. Mintalah pahala kepada mereka yang menjadi tujuanmu dalam beramal, wahai penipu.”
   Adapun Jaballah Al-Yahshubi meyakini akan kebenaran dari hadits ini, karena sahabat itu menerimanya langsung dari Rasulullah SAW dengan berucap, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sungguh saya mendengarnya langsung dari Rasul SAW dan jika terdapat kekeliruan maka itu bukanlah sebuah kesengajaan dariku.” Seraya beliau membaca firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 142.

   Al-Faqih berkata bahwa bersikap ajeg/istiqamah di dalam memelihara amal adalah lebih sulit daripada mengerjakannya,maka dari itulah agar apa yang telah dikerjakan tidak menjadi sia-sia, hendaklah kita senantiasa memeliharanya dari penyakit riya’ dan ujub (merasa bangga dengan diri sendiri).

   Hal ini dibenarkan oleh Abu Bakar Al-Wasithi dengan mengambil perumpamaan seperti sebuah kaca yang mudah pecah/rusak bilamana terkena benturan, dan demikian pula ketika suatu amal ibadah itu terkena penyakit riya’ dan ujub, maka dengan mudah ia akan mejadi rusak. Oleh karena itu ketika seseorang mengerjakan suatu amal/ibadah, hendaklah ia menjauhkannya dari riya’. Kalaupun dirinya belum sepenuhnya dapat menghilangkan riya’ dari hatinya, maka hendaknya ia senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh dan senantiasa memohon pertolongan serta ampunan dari Allah SWT, sehingga dengan demikian diharapkan Dia akan memberikan taufik berupa keikhlasan di dalam mengerjakan amal-amal yang lain.

   Dalam sebuah peribahasa disebutkan bahwasannya dunia akan menjadi sepi bila tanpa kehadiran orang-orang yang riya’, sebab mereka mengerjakan amal-amal kebaikan seperti membangun pondok-pondok pesantren dan fasilitas-fasilitas umum lainnya, sekali pun amal itu dilakukan dengan di sertai riya’, akan tetapi orang lain/khalayak umum dapat mengambil manfaat darinya, dan barang kali dalam doa orang-orang muslim yang mengambil manfaat dari tempat/bangunan yang dia dirikan itulah maka hal itu dapat memberikan manfaat pula bagi dirinya.
   Diceritakan bahwasannya dahulu terdapat seorang muslim yang membangun sebuah pondok pesantren, akan tetapi dirinya tidak yakin apakah yang ia lakukan itu benar-benar ikhlas karena Allah ataukah masih disertai dengan riya’? kemudian pada suatu malam ia bermimpi dan dikatakan kepadanya, “Andaikata amal yang kamu kerjakan itu masih disertai riya’ maka kamu dapat memperoleh manfaat/kebahagiaan dari doanya orang-orang yang dengan ikhlas mendoakan kamu.”

   Pernah suatu kali seseorang berdoa di dekat Hudzaifah bin Al-Yamini, ia berkata, “Ya Allah, binasakanlah orang-orang munafik.”
Lalu Hudzaifah berkata, “Sekiranya orang-orang munafik itu binasa, niscaya kekuatanmu menjadi berkurang dan kamu akan mangalami kesulitan di dalam menahan musuh-musuhmu.”
Adapun maksud dari perkataan Hudzaifah tersebut adalah keberadaan orang-orang munafik di medan peperangan sesungguhnya juga turut andil di dalam memperkuat pertahanan dari pihak musuh.
   Salman Al-Farisi berkata, “Allah memperkokoh kekuatan orang mukmin dengan kekuatan orang munafik, dan demikian pula orang munafik tertolong berkat doa dari orang-orang mukmin.”

   Al-Faqih berkata, “Sebagian orang berpendapat bahwa riya’ tidak akan hadir dalam amalan /ibadah-ibadah yang bersifat fardhu sebab ibadah tersebut memang diwajibkan bagi semua makhluk. Akan tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa bisa saja riya’ itu hadir dalam ibadah / amalan yang bersifat fardhu ataupun bukan.”

   Adapun Al-Faqih mempertegas pendapat-pendapat tersebut bahwasannya yang demikian itu terdapat dua kriteria, yakni:
1.      Bilamana seseorang mengerjakan amal ibadah yang bersifat fardhu karena riya’ dimana jika bukan karena riya’ ia tidak akan mengerjakannya, maka inilah yang disebut dengan munafik tulen (sempurna), sebagaimana firman Allah SWT yang menjelaskan tentang keberadaan mereka kelak: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (kelak di tempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka.”
Tuhfatul Arusy

  Adapun yang dimaksud dengan tingkatan yang paling bawah adalah Neraka Hawiyah, dan di situlah keluarga Fir’aun ditempatkan. Sebab jika ketauhidan yang mereka itu benar serta memiliki keikhlasan di dalam beramal, niscaya ia akan mengerjakan amal yang difardhukan oleh Allah SWT dengan tulus dan tanpa merasa enggan atau keberatan.

2.      Bilamana seseorang mengerjakan amal / ibadah fardhu secara sempurna ketika dilihat / diperhatikan oleh orang lain, sedang ketika di saat sepi atau orang lain tidak melihat dan memperhatikannya, maka ia mengerjakannya dengan sekehendak hati atau kurang sempurna. Dan tidaklah baginya atas yang demikian itu melainkan yang ia terima hanyalah pahala sesuatu dengan apa yang ia lakukan, adapun pahala dari amalnya yang sempurna tetapi lantaran dilihat oleh orang lain, hanyalah kesia-siaan, bahkan kelak ia akan dituntut atas penipuan yang dilakukannya tersebut. Wallaahu A’lam.

<Prev  1 
 2 
 3 
 4 
Next>