Al-Faqih
meriwayatkan hadits dari Jaballah
Al-Yahshubi, ia berkata, “Ketika kami tengah berada dalam suatu peperangan
bersama-sama dengan Abdul Malik bin
Marwan, kemudian kami bertemu dengan seseorang yang suka bangun malam dan
sedikit sekali tidur malamnya, meski berhari-hari kami bertemu dengan orang
itu, tetapi kami tidak tahu siapakah orang itu. Kemudian suatu ketika kami
mengetahui bahwa orang tersebut adalah salah satu dari sahabat Nabi SAW dan dia pernah bercerita
kepada kami bahwa suatu hari ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang kelak dapat
menyelamatkan kami?”
Beliau bersabda: “ Janganlah kamu
menipu Allah.”
Ia bertanya, “Ya Rasul, bagaimana mungkin kami bisa menipu Allah?”
Beliau lalu
bersabda: “Yakni ketika kamu beramal bukan karena Allah semata, jauhilah
olehmu riya’, karena riya’ berarti syirik kepada Allah dan kelak pada hari
kiamat orang-orang yang berbuat riya’ itu akan dipanggil oleh Allah dengan
empat sebutan: kafir, pelacur, penipu dan katsir (orang yang merugi) amalmu
adalah sesat dan pahalamu hanyalah kesia-siaan. Mintalah pahala kepada mereka
yang menjadi tujuanmu dalam beramal, wahai penipu.”
Adapun Jaballah
Al-Yahshubi meyakini akan kebenaran dari hadits ini, karena sahabat itu
menerimanya langsung dari Rasulullah SAW
dengan berucap, “Demi
Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sungguh saya mendengarnya langsung
dari Rasul SAW dan jika terdapat
kekeliruan maka itu bukanlah sebuah kesengajaan dariku.” Seraya
beliau membaca firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 142.
Al-Faqih
berkata bahwa bersikap ajeg/istiqamah di dalam memelihara amal adalah lebih
sulit daripada mengerjakannya,maka dari itulah agar apa yang telah dikerjakan
tidak menjadi sia-sia, hendaklah kita senantiasa memeliharanya dari penyakit riya’ dan ujub (merasa
bangga dengan diri sendiri).
Hal ini dibenarkan oleh Abu Bakar Al-Wasithi dengan mengambil perumpamaan seperti sebuah
kaca yang mudah pecah/rusak bilamana terkena benturan, dan demikian pula ketika
suatu amal ibadah itu terkena penyakit riya’ dan
ujub, maka dengan mudah ia akan mejadi rusak.
Oleh karena itu ketika seseorang mengerjakan suatu amal/ibadah, hendaklah ia
menjauhkannya dari riya’. Kalaupun dirinya belum
sepenuhnya dapat menghilangkan riya’ dari
hatinya, maka hendaknya ia senantiasa berusaha dengan sungguh-sungguh dan
senantiasa memohon pertolongan serta ampunan dari Allah SWT, sehingga dengan demikian diharapkan Dia akan memberikan taufik berupa keikhlasan di dalam mengerjakan
amal-amal yang lain.
Dalam sebuah peribahasa disebutkan
bahwasannya dunia akan menjadi sepi bila tanpa kehadiran orang-orang yang riya’, sebab mereka mengerjakan amal-amal kebaikan
seperti membangun pondok-pondok pesantren dan fasilitas-fasilitas umum lainnya,
sekali pun amal itu dilakukan dengan di sertai riya’,
akan tetapi orang lain/khalayak umum dapat mengambil manfaat darinya, dan
barang kali dalam doa orang-orang muslim yang mengambil manfaat dari
tempat/bangunan yang dia dirikan itulah maka hal itu dapat memberikan manfaat
pula bagi dirinya.
Diceritakan bahwasannya dahulu terdapat
seorang muslim yang membangun sebuah pondok pesantren, akan tetapi dirinya
tidak yakin apakah yang ia lakukan itu benar-benar ikhlas karena Allah ataukah masih disertai dengan riya’? kemudian pada suatu malam ia bermimpi dan
dikatakan kepadanya, “Andaikata amal yang kamu kerjakan itu masih disertai
riya’ maka kamu dapat memperoleh manfaat/kebahagiaan dari doanya orang-orang
yang dengan ikhlas mendoakan kamu.”
Pernah suatu kali seseorang berdoa di dekat Hudzaifah bin Al-Yamini, ia berkata, “Ya Allah, binasakanlah
orang-orang munafik.”
Lalu Hudzaifah berkata, “Sekiranya orang-orang munafik itu binasa,
niscaya kekuatanmu menjadi berkurang dan kamu akan mangalami kesulitan di dalam
menahan musuh-musuhmu.”
Adapun
maksud dari perkataan Hudzaifah
tersebut adalah keberadaan orang-orang munafik di medan peperangan sesungguhnya
juga turut andil di dalam memperkuat pertahanan dari pihak musuh.
Salman
Al-Farisi berkata, “Allah memperkokoh kekuatan orang mukmin dengan kekuatan
orang munafik, dan demikian pula orang munafik tertolong berkat doa dari orang-orang
mukmin.”
Al-Faqih berkata, “Sebagian orang berpendapat bahwa riya’
tidak akan hadir dalam amalan /ibadah-ibadah yang bersifat fardhu sebab ibadah
tersebut memang diwajibkan bagi semua makhluk. Akan tetapi sebagian yang lain
berpendapat bahwa bisa saja riya’ itu hadir dalam ibadah / amalan yang bersifat
fardhu ataupun bukan.”
Adapun Al-Faqih
mempertegas pendapat-pendapat tersebut bahwasannya yang demikian itu terdapat dua kriteria, yakni:
1.
Bilamana
seseorang mengerjakan amal ibadah yang bersifat fardhu karena riya’ dimana jika
bukan karena riya’ ia tidak akan mengerjakannya, maka inilah yang disebut
dengan munafik tulen (sempurna), sebagaimana firman Allah SWT yang menjelaskan tentang keberadaan mereka kelak: “Sesungguhnya orang-orang
munafik itu (kelak di tempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka.”
Adapun yang dimaksud dengan tingkatan yang paling bawah adalah Neraka Hawiyah, dan di situlah keluarga Fir’aun ditempatkan. Sebab jika ketauhidan yang mereka itu benar serta memiliki keikhlasan di dalam beramal, niscaya ia akan mengerjakan amal yang difardhukan oleh Allah SWT dengan tulus dan tanpa merasa enggan atau keberatan.
2.
Bilamana
seseorang mengerjakan amal / ibadah fardhu secara sempurna ketika dilihat /
diperhatikan oleh orang lain, sedang ketika di saat sepi atau orang lain tidak
melihat dan memperhatikannya, maka ia mengerjakannya dengan sekehendak hati atau
kurang sempurna. Dan tidaklah baginya atas yang demikian itu melainkan yang ia
terima hanyalah pahala sesuatu dengan apa yang ia lakukan, adapun pahala dari
amalnya yang sempurna tetapi lantaran dilihat oleh orang lain, hanyalah
kesia-siaan, bahkan kelak ia akan dituntut atas penipuan yang dilakukannya
tersebut. Wallaahu
A’lam.
<Prev | 1 | 3 | Next> |
---|